Rabu, 28 Maret 2012

Perginya Sang Maestro sejati, Superhero Tiada Tanding

Ketika masih kecil, sesosok superhero idolaku paling hebat tiada tanding. Ketika teman-temanku denga hingar bingar mengidolakan Power Ranger, Fantastic 4, Doraemon, Jaka Sembung, Jaka Tingkir, sampai Jaka Suara (baca : Bang Haji Rhoma Irama) tetapi idolaku yang satu ini sangat istimewa bukan buatan.

Dengan baju tempurnya yang sangat maskulin, topi koboy hitam, baju lengan panjang hitam, celana panjang hitam tak lupa kulitnya yang mulai menghitam. Semua serba hitam, luar biasa.

Teman setianya si Belalang Tempur (baca : Sepeda Kumbang) pun hitam, lengkap dengan aksesoris yang nyentrik sekali. Jok kulit dengan pegas dibawahnya, setang kemudi yang dinaikkan sedikit, dua roda raksasa super besar, lampu senter yang dapat menyala tanpa minyak tanpa listrik, menyala ketika kepala dinamonya ditempelkan sedikit di samping kanan ban roda depannya, sangat terang. Pedalnya yang begitu panjang melengking berputar seirama ijakan kaki sang empunya, tak lupa terpasang klakson yang sangat eksklusif, “klining… klining… klining”. Gagah luar biasa.

Tak sampai disitu, superheroku ini layaknya superhero teman-temanku yang dilengkapi senjata super canggih, Canon Gun Shot, Pistol Laser, Pedang Electrik sampai Kapak Naga Geni 212. Tetapi senjata canggih superheroku ini sangat klasik, seperti angka tujuh jika diberdirikan, dengan pegangan kayu dan baja supertebal sebagai penghantamnya, mampu meggulung habis lapisan kulit ari bumi. Nama ilmiahnya : “Cangkul”, pun hitam.

Maka, dengan segala kebanggakan yang saya nobatkan kepadanya, gelar untuk dirinya hanyalah “Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempur” tak lain adalah Kakekku.

Setiap pagi ketika beliau hendak kesawah, selalu melintasi halaman rumahku karena memang jalurnya searah dengan sawahnya. Dan ibuku selalu memanggilku setiap beliau melintas. “Boy… sini, itu superheromu hendak lewat!!!”, dengan berangsut-angsut, aku lari sekuat tenaga untuk berdiri dengan tenang sambil menatap gerak lincah Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya yang melintas gagah, sangat maskulin. Melintas, sambil menoleh sedikit tersenyum dan “klining… klining”. Amboy… alangkah hebatnya superhero yang satu ini, sangat gagah siap melahap habis musuhnya dimedan tempur sana. Tak pernah kulepas pandanganku barang sedetik menatap sang Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya dibalik punggung yang perlahan menjauh membelakangiku sepanjang jalan, sampai berbelok dan hilang dari pandanganku.

Walau terlihat jelas ibuku sangat bosan mendengar hebohnya komentar-komentarku tentang kekagumanku akan sosok superhero Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya yang sama seperti pagi kemarin dan sebelumnya, aku tak peduli. Dan ibuku mengiyakan setiap ucapku sambil terus menyuapiku.

Suatu hari ketika aku dan ibuku mertandang kerumah kakekku si Superhero Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya, ketika mereka asyik berbincang, kulirik sedikit si Belalang Hitam yang terparkir anggun dibawah pohon Jambu Air yang teduh dipekarangan rumahnya. Rasa-rasanya tak tertahan untuk mengusapnya, memegang setiap lekukan yang begitu mempesona yang melintas menawan setiap pagi didepan halaman rumahku, sangat berwibawa. Entah ide gila macam apa yang merasukiku saat itu, aku mengambil bangku menaruhnya disamping si Belalang Tempur dan menaikinya sambil berjinjit agar dapat menaiki Belalang Tempur anggun ini, karena posisiku yang tidak seimbang, maka aku terjatuh bersama si anggun Belalang Tempur. Sangat takut, dan untuk menutupi ketakutan agar tidak kena omel sang empunya, maka aku menangis sejadi-jadinya. Tanpa kusangka, bukannya omelan yang aku dapat, tetapi malah sapanya yang halus, “Kenapa Boy?, kau ingin naik sepeda ini?, hayu sini kakek bonceng keliling kebun”. Sungguh bahagia tak terkira, tak tertahan.

Setibanya dirumah, mendadak tidak nafsu makan tidak bisa tidur, terus membayangkan aksi heroik sang Ksatria Baja Hitam yang dengan lihai memboncengku dengan Belalang Tempurnya, tempo siang dulu, sangat menakjubkan. Sampai-sampai ide gilaku merasukiku lagi, berandai-andai, kelak sudah besar, aku akan mengajak adu balap dengan Ksatria Baja Hitamku ini, sendiri tanpa berbonceng. Sangat gila…

Belum hilang keinginananku untuk mempersunting si Beleleng Tempur agar terlihat sedikit lebih "dewasa", sepupuku dengan ide gila stadium 6 nya mengajakku mencuri lintingan rokok diatas meja milik kakekku, gila, sangat gila. Entah setan jenis apa dan dari mana asalnya yang berani merasukinya, lebih gila lagi, aku dengan polosnya mengiyakan saja. Didapatlah dua cecunguk ingusan dengan gaya mirip James Bond memegang lintingan rokok dan korek duduk bersila dengan santainya dibawah meja ruang tamu, hanya berdua. Dengan perasaan yang was-was tanganku keringatan, gemetar tak tertahan, tetapi setan sebelahku ini dengan santainya nyeloteh : “Nikmati saja Boy… kita ini sudah dewasa, samalah seperti mereka”. Seperti terhipnotis, aku hanya memanggut saja mendengar celoteh sepupu gilaku ini. Dia sudah mencuri start, menyulut lintingan rokok sambil mengepulkan asapnya kemuka polosku, sangat percaya diri. Aku terbatuk. “Lihatlah Boy, keren..!!!!”. Tak mau kalah, kuletakkan ujung lintingan rokok, kuapit dengan kedua ujung bibirku, sedikit memonyongkan dan menyalakan korek, ambil sedikit mengernyitkan mata kutempelkan apinya diujung lintingan rokok, lama sekali baru terbakar. Biibirku terasa panas tak tertahan, kemudian kutarik lintingan rokok, kudongakkan muka sedikit keatas, kumoncongkan bibir sambil meniupnya keudara, sangat peracaya diri, tetapi… “Boy, kok tidak keluar asap ya?”. “Haha.. bego kali kau, mana ada asap kalau rokok kamu tiup, dihisap Boy, lihatlah abangmu ini. Hahaha”. Geram melihatnya terus-terusan mengejekku, tak ambil jedah aku langsung menghisap rokok dalam sekali, sampai terbatuk, tersedak… sampai kepalaku membentur atap meja diatasku dan si kunyuk ini malah tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi gagalku.

Mendengar keributan dua cecunguk dibalik meja tamu dan asap yang membumbung dari kolong meja, seisi rumah heboh tak terkira. Tanpa ampun, kami disidang kena omel sana-sini. Dan ketika sang Ksatria Baja Hitam Superheroku menghampiri, gemetar tak tertahan sekujur badan. Hanya bisa menebak-nebak, entah omelan apa yang akan ditumpahkan kepada kedua ceunguk ingusan imut ini, yang dengan lancangnya mencuri dua linting rokok miliknya, hanya menunduk sangat takut. Tetapi, sekali lagi tanpa diluar dugaan sama sekali, kami hanya terpaku kaget bukan main ketika beliau hanya tersenyum sambil mengusap kepala kami, sangat lembut dan santun, “Kalian belum pantas memegang apalagi menghisap rokok, tidak baik buat kalian, nanti saja kalau sudah besar nanti merokok bersama, disini, yah…”. Sungguh sangat terharu, malu, dan sekali lagi semakin kagum saja saya dengan Superheroku ini.

Sepuluh tahun berlalu, sang Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya sudah mulai terlihat tak sekokoh dulu, tetapi bagiku beliau tetaplah superhero tiada tanding. Sering sekali kudapati si Belalang Tempurnya merajuk, enggan di kayuh oleh sang empunya, sangat manja. Ban pecah, rantai putus dan masih banyak lagi alasannya. Tetapi Superheroku ini dengan sabarnya menuntun si Beleleng Tempur dengan setia, tanpa mengeluh. Aku hanya tertunduk malu melihat ketulusan dan semangat superheroku ini.

Tanggal 10 Desember 2011 Pukul 22.05 WIB, ibuku menelponku dengan suara sedikit gemetar tetapi dengan sekuat tenaga mencoba menegarkan agar suaranya terdengar seperti biasa, menyuruhku untuk segera pulang dari perantauan detik ini juga, ketika kutanya kenapa, beliau hanya menyuruhku pulang saja, hanya pulang. Dengan perasan yang tak menentu dan seribu tanya yang memadati isi kepalaku, aku melesat dengan belalang tempurku (baca : Sepeda Motor, memang tak segagah Belalang Tempur milik kakekku), melesat dengan ditemani rintik hujan yang mengguyurku, aku tak peduli, hanya pulang, itu saja.

Sesampainya dirumah tanggal 11 Desember 2011 Pukul 02.00 WIB, tak kudapati seorangpun didalam rumah, ketika kutelpon ibuku, beliau menyuruhku datang kerumah kakekku. Dengan perasaan tambah tak menentu dan ditambah seribu lagi tanya yang sekali lagi memadati isi kepala, aku melesat tak kenal lelah.

Setibanya dikediaman kakekku, kudapati sang Ksatria Baja Hitamku Superhero tiada tanding bagiku, sudah terbujur kaku terbungkus kain kafan, saat itu juga detak jantungku serasa terhenti sejenak, lemas tak tertahan seperti ada seseorang yang menarik paksa keluar seluruh tulang-belulangku dari jasadku, aku terduduk, diam. Sang Maestro, Ksatria Baja Hitam pergi meninggalkan seisi dunia yang mengharu biru menangisi kepergiannya, dengan meninggalkan sesungging senyum dan Belalang Tempurnya.

Semasa hidupnya, beliau dikenal sangat pendiam, tidak pernah mengucap, mengerti dan mengenal kata cinta dan sayang, hanya ketulusan kasih yang beliau curahkan, terpancar dan terlihat jelas dari auranya yang sabar dan ikhlas, sekali lagi tanpa kata cinta dan sayang.

Pantaslah Allah SWT memanggilnya dengan sangat hormat ketika beliau sedang duduk di tahiat akhir Shalat Maghrib berjamaah dimasjid. Pantaslah jika banyak kerabat yang menangisi kepergiannya, pantaslah banyak sekali orang yang datang untuk menghadiri dan mengiringinya bahkan sesekali tanpa diminta mereka berkisah mengenangnya bersama kakekku dulu,  dan pantaslah, semua itu karena ketulusannya, polos, lugu, wibawa, jujur dan diamnya. Tanpa sedikitpun kekuranggannya.

Selamat jalan Superheroku, Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya. Semoga diterima dan dikasihi disisi-Nya, diampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan untukku dan untuk keluarga yang ditinggalkan agar diberi ketabahan dan keikhlasan..

Special tribute untuk Superheroku, Ksatria Baja Hitam dengan Belalang Tempurnya. In memoriam, Rest In Peace. Alm. Kakekku, Kama Bin Murjali

Ditulis di Karawang, pada 19 Desember 2011. Pkl 22.58WIB

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes