oleh Widianto Ahmad pada 14 Februari 2011 jam 11:33
Tak kupahami, sampai detik ini, setiap kali terlintas bayangmu, penyesalan ini terus bergejolak, kian hari kian membuncah. Sampai kucoretkan tulisan ini, tak terbendung rasanya.
Maaf jika sikapku selama ini membuatmu kecewa. Perhatian dan kasih sayangmu kadang kubalas dengan sikap dinginku. Sungguh, mengerti betul maksud dan tujuanmu saat itu. Air matamu tak sempat aku seka, surat-surat dan puisi-puisi indahmu tak sempat aku balas. Terlena dengan perasaan-perasaan yang sebenarnya absurd, tidak jelas, atau terlalu naif mungkin, terkesan egois memang.
Delapan tahun lamanya tak mendengar kabarmu, rasa-rasanya ada sesuatu yang sangat berharga hilang dalam diriku, seseorang yang tanpa kusadari masuk kedalam bagian hidupku, menjadi seseorang yang selalu mendengar cerita-cerita tololku, menjadi penyemangat hari-hariku.
Kini, benih-benih cinta yang dulu kau taburkan dihatiku yang dulu membeku, perlahan menjulurkan akar-akarnya menembus bongkahan-bongkahan kristal es yang perlahan meleleh.
Sangat berharap kelak suatu saat kembali dipertemukan denganmu, takkan kusia-siakan. Akan kucurahkan perasaanku, akan kuungkapkan semuanya kepadamu, betapa selama ini kau begitu berharga untukku. Kenangan-kenangan bersamamu, suka duka, mengharu biru terpatri begitu kuat di sanubari. Aku akan melamarmu!
Saat itu pula kucari informasi tentangmu. Dapat!!!, hati ini bergejolak, perasaan mulai tak menentu, panas dan dingin, rindu dan asa, bergulat menjadi satu, gemetar, takkan kubuang waktu percuma.
Aku dan kamu duduk di beranda rumahmu, lebih dari 15 menit tanpa sepatah katapun terucap. Perlahan, kudengar isak tangis yang sendu dari bibirmu, air mata yang perlahan menetes, aku hanya melirik sedikit, lagi-lagi tanpa sepatah kata.
“Kamu apa kabar?” ucapmu lembut, sambil menyeka air matamu.
“Baik.. Kamu?” tak kuasa kumenahan rindu ini, gemetar.
“Maaf sebulan yang lalu aku tidak sempat mengundangmu, aku tak tahu kabarmu apalagi alamatmu..” kini nadamu mulai terdengar tegar..
” …. ” tersentak seketika, seolah kilatan petir menyambar pohon cemara disiang yang terik, tertegun, ingin rasanya menangis sejadi-jadinya. Disatu sisi rasa rindu yang sudah lama kupendam telah terobati, disisi lain hati ini tak kuasa menerima kenyataan itu.
“Maaf…” menunduk, mungkin hanya aku orang terbodoh di dunia ini saat itu.
“Maaf? hanya maaf? selama ini kamu kemana saja? kenapa kamu tak datang setahun yang lalu, enam bulan yang lalu atau sebulan yang lalu, kenapa baru sekarang kamu datang? aku menunggu, lama sekali aku menunggumu, aku rindu…” tangismu semakin terdengar, menyayat.
Kenyataan tak selamanya indah, kenyataan yang tak berpihak, kau telah berdua. Bunga-bunga cinta yang merekah, seketika itu pula layu kemudian berantakan, hancur rasanya hati dan perasaan ini.
Jerit tangismu menuntunku meninggalkanmu, tanpa sepetah kata meninggalkan kekasih hati selama delapan tahun kunanti. Sepanjang jalan tak henti-hentinya memaki diri, membodohi diri.. ingin rasanya kuteriakkan segala kesahku.. segala kebodohanku..
Semua yang terlihat berwarna kelabu, daun-daun dan rumput-rumput hijau terlihat kelabu, cat jingga tembok stasiun tua terlihat kelabu, senja sore pun terlihat kelabu, semuanya kelabu.
Aku berlari sekuat tenaga menembus hujan badai ditepi sungai, terdiam, tertunduk, enteh apa yang ada dibenakku saat itu, kacau, tak terkendali. Air hujan menyapu air mata yang berderai, air mata yang tertahan rindu delapan tahun kusimpan, membuncah tak terbendung. Kuteriakkan kesahku, penyesalanku, sekuatnya, melawan kilatan petir, melawan gemuruh halilintar yang menertawakanku, menertawakan kebodohanku..
Cerita ini hanya fiktif, tidak ada unsur menyinggung pihak manapun baik subjek atau objeknya murni karangan belaka. Mohon maaf apabila ada yang dirugikan dengan catatan saya ini.. :-)
Sumber : widianto
Maaf jika sikapku selama ini membuatmu kecewa. Perhatian dan kasih sayangmu kadang kubalas dengan sikap dinginku. Sungguh, mengerti betul maksud dan tujuanmu saat itu. Air matamu tak sempat aku seka, surat-surat dan puisi-puisi indahmu tak sempat aku balas. Terlena dengan perasaan-perasaan yang sebenarnya absurd, tidak jelas, atau terlalu naif mungkin, terkesan egois memang.
Delapan tahun lamanya tak mendengar kabarmu, rasa-rasanya ada sesuatu yang sangat berharga hilang dalam diriku, seseorang yang tanpa kusadari masuk kedalam bagian hidupku, menjadi seseorang yang selalu mendengar cerita-cerita tololku, menjadi penyemangat hari-hariku.
Kini, benih-benih cinta yang dulu kau taburkan dihatiku yang dulu membeku, perlahan menjulurkan akar-akarnya menembus bongkahan-bongkahan kristal es yang perlahan meleleh.
Sangat berharap kelak suatu saat kembali dipertemukan denganmu, takkan kusia-siakan. Akan kucurahkan perasaanku, akan kuungkapkan semuanya kepadamu, betapa selama ini kau begitu berharga untukku. Kenangan-kenangan bersamamu, suka duka, mengharu biru terpatri begitu kuat di sanubari. Aku akan melamarmu!
Saat itu pula kucari informasi tentangmu. Dapat!!!, hati ini bergejolak, perasaan mulai tak menentu, panas dan dingin, rindu dan asa, bergulat menjadi satu, gemetar, takkan kubuang waktu percuma.
Aku dan kamu duduk di beranda rumahmu, lebih dari 15 menit tanpa sepatah katapun terucap. Perlahan, kudengar isak tangis yang sendu dari bibirmu, air mata yang perlahan menetes, aku hanya melirik sedikit, lagi-lagi tanpa sepatah kata.
“Kamu apa kabar?” ucapmu lembut, sambil menyeka air matamu.
“Baik.. Kamu?” tak kuasa kumenahan rindu ini, gemetar.
“Maaf sebulan yang lalu aku tidak sempat mengundangmu, aku tak tahu kabarmu apalagi alamatmu..” kini nadamu mulai terdengar tegar..
” …. ” tersentak seketika, seolah kilatan petir menyambar pohon cemara disiang yang terik, tertegun, ingin rasanya menangis sejadi-jadinya. Disatu sisi rasa rindu yang sudah lama kupendam telah terobati, disisi lain hati ini tak kuasa menerima kenyataan itu.
“Maaf…” menunduk, mungkin hanya aku orang terbodoh di dunia ini saat itu.
“Maaf? hanya maaf? selama ini kamu kemana saja? kenapa kamu tak datang setahun yang lalu, enam bulan yang lalu atau sebulan yang lalu, kenapa baru sekarang kamu datang? aku menunggu, lama sekali aku menunggumu, aku rindu…” tangismu semakin terdengar, menyayat.
Kenyataan tak selamanya indah, kenyataan yang tak berpihak, kau telah berdua. Bunga-bunga cinta yang merekah, seketika itu pula layu kemudian berantakan, hancur rasanya hati dan perasaan ini.
Jerit tangismu menuntunku meninggalkanmu, tanpa sepetah kata meninggalkan kekasih hati selama delapan tahun kunanti. Sepanjang jalan tak henti-hentinya memaki diri, membodohi diri.. ingin rasanya kuteriakkan segala kesahku.. segala kebodohanku..
Semua yang terlihat berwarna kelabu, daun-daun dan rumput-rumput hijau terlihat kelabu, cat jingga tembok stasiun tua terlihat kelabu, senja sore pun terlihat kelabu, semuanya kelabu.
Aku berlari sekuat tenaga menembus hujan badai ditepi sungai, terdiam, tertunduk, enteh apa yang ada dibenakku saat itu, kacau, tak terkendali. Air hujan menyapu air mata yang berderai, air mata yang tertahan rindu delapan tahun kusimpan, membuncah tak terbendung. Kuteriakkan kesahku, penyesalanku, sekuatnya, melawan kilatan petir, melawan gemuruh halilintar yang menertawakanku, menertawakan kebodohanku..
Cerita ini hanya fiktif, tidak ada unsur menyinggung pihak manapun baik subjek atau objeknya murni karangan belaka. Mohon maaf apabila ada yang dirugikan dengan catatan saya ini.. :-)
Sumber : widianto
0 komentar:
Posting Komentar